Senin, 06 Juli 2009

Neoliberlaisme vs Ekonomi Kerakyatan (Pancasila)

Neoliberalisme adalah sistem ekonomi untuk orang-orang yang kaya, dan ekonomi Pancasila (Kerakyatan) adalah sistem ekonomi yang tepat untuk negara ini

Mungkin kata-kata diatas sudah bosan kita dengar, terlebih di media elektronik akhir-akhir ini terbentuk forum yang sangat jelas menentang neoliberalisme dengan mewancarai masyarakat Indonesia mengenai sistem tersebut.

Saya sebagai mahasiswa Ilmu Ekonomi UGM, terkadang merasa tergelitik dengan mudahnya masyarakat kita dibodohi oleh media, terlebih mengenai ekonomi.

Neoliberalisme terlahir dari konsensus ekonomi yang pada tahun 1980-an dibentuk oleh para ekonom yang berasal dari tiga negara besar yang pada saat itu terkena dampak yang paling besar dari krisis ekonomi yang terjadi, yaitu Meksiko, Brasil, dan Argentina, disusun di Washington, dan masing-masing berasal dari IMF, World Bank, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat.

Lalu tersusun konsensus, yang dirumuskan ,menjadi 10 elemen, terlalu panjang jika saya jelaskan satu-satu, saya hanya akan mengambil 3 elemen penting (menurut pak A. Toni Prasentiatono), yakni 1) kebijakan fiskal yang disiplin dan konservatif;
(2) privatisasi BUMN; dan (3) liberalisasi pasar atau market
fundamentalism.

Terlihat baik jika dilihat dari kacamata ekonomi mungkin, jadi, dimana letak pertentangannya?
Menurut saya (didukung pernyataan pak Toni), bahwa sebenarnya yang menjadi titik vital adalah liberalisasi pasar dan privatisasi BUMN.
Kenapa demikian?
Well, masyarakat Indonesia sepertinya memiliki rasa anti terhadap orang asing jika memegang BUMN ataupun bergerak di pasar.
Padahal, ketika BUMN diprivatisasi terlebih terhadap pengelolaan asing, banyak keuntungan yang didapat secara ekonomi (jika benar penanganannya pemerintah), sebagai conth yaitu pendapatan devisa, investasi asing yang jika berjalan dengan baik akan menambah jumlah lapangan pekerjaan, dan kepercayaan investor terhapa sekuritas di Indonesia.
Mungkin yang dipandang oleh masyarakat Indonesia adalah mengenai kasus FreePort (yang mengeksploitasi, tanpa feedback terhadap pemerintah ataupun CSR yang baik) dan mengenai kasus Semen Padang.

Liberalisasi pasar, juga dipandang buruk, kata liberal memiliki konotasi negatif di mata masyarakat Indonesia, yang diartikan sebagai tanpa batas, padahal liberalisasi pasar saat ini selalu dijalankan dengan batasan-batasan tertentu oleh pemerintah, dan jika (lagi) dijalankan dengan baik oleh pemerintah, liberalisasi sangat mendorong masyarakat Indonesia untuk kreatif dalam berindustri dan meciptakan lapangan pekerjaan, sehingga pengangguran akan berkurang, pendapatan rumah tangga meningkat, konsumsi rumah tangga meningkat, investasi dan saving meningkat, dan pada akhrinya meningkatkan pendapatan negara, hanya jika pemerintah memberikan batasan batasan tertentu agar tidak terjadi sikut-menyikut antar pelaku ekonomi, sehingga prinsip yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin tidak ada lagi terdengar.

Jadi harus bagaimana?
Menurut pak Toni, sistem ini selayaknya obat, yang bisa menjadi penyembuh di kala sakit, dan berbahaya jika tidak mengikuti aturan dan petunjuk juga jika overdosis dalam menggunakannya.

Lalu bagaimana dengan sistem ekonomi kerakyatan?
Pada awalnya, sisitem ini kita kenal dengan sistem ekonomi Pancasila, yang dicetuskan oleh alm. pak Mubyarto, salah satu guru besar di UGM, dijalankan pertama kali pada zaman alm. Soeharto dengan pencairan dana Inpres (Intruksi Presiden) dan mengirim tenaga-tenaga ahli untuk mengembangkan UKM agar bisa menjadi sandaran ekonomi di Indonesia, karena diyakini tahan terhadap gelombang krisis global.

Kenapa dipuja?
Ya jelas, karena bentuknya lebih kepada para pelaku UKM, yang notabene-nya adalah rakyat biasa dengan sedikit modal dan mengembangkan usaha.

Apa kelemahannya?
UKM adalah Usaha Kecil Menengah, yang menyerap tenaga tidak terlalu besar (paling banyak hanya hingga 500 tenaga kerja), tanpa investasi asing, tetapi biasanya memliki peran lebih besar dalam kegiatan ekspor karena bentuk, jenis, dan harga barang yang terbilang murah bagi para pengimpornya.
Ketika UKM ini dijadikan sandaran beban negara berkembang yang sangat berat, justru menurut saya akan sangat rapuh. Saya teringat dengan ucapan Ibu Denni Purbasari dalam diskusi mengenai Stimulus Fiskal,bahwa sektor UKM tidak menyerap tenaga kerja terlalu banyak, lapangan pekerjaan yang tercipta tidak akan terlalu besar, pengangguran masih banyak, tidak ada pendapatan, tidak terjadi arus pergerakan moneter yang besar, saving dan investasi tidak terlalu besar, likuiditas bank dan perusahaan berkurang, Inflasi membengkak, dan yang terjadi adalah resesi nasional.

Lalu apa yang harusnya dilakukan?
Saran saya, di dunia ini sangat belaku sistem keseimbangan, yang seharusnya kita lakukan adalah menyeimbangkan kedua sistem ekonomi ini, dengan adjusting yang tepat, Indonesia akan menjadi raksasa Asia yang ditakuti menyusul perkembangan ekonomi dahsyat yang telah dilakukan oleh Cina dan India.

Dan juga, dalam ekonomi, jangan dilupakan variabel-variabel independent lain yang akan berpengaruh nantinya, karena dalam aplikasinya, cateris paribus tidaklah berlaku.

Untuk para calon pemimpin bangsa ini, jangan jadikan sistem ini sebagai senjata, sistem ini seharusnya menjadi faktor koreksi diri untuk berkembang, demi mengejar target Indonesia kembali sebagai macan Asia di tahun 2030. Jangan bodoh-bodohi masyarakat demi menggapai kepentingan kelompok yang belum tentu seluruh anggotanya memiliki tujuan yang baik bagi Indonesia, musnahkan dulu para koruptor, bersihkan negara ini dari konspirasi kotor,tegakkan hukum yang berlaku, dan sebarkan kesejaheraan bagi seluruh masyarakat di Indonesia ini, jangan hanya anda yang duduk di kursi singgasana, tapi biarkan kita semua duduk di atas karpet yang lembut yaitu rumput Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar